Alun-alun Kidul yang terletak di belakang Kraton Yogyakarta dipenuhi
masyarakat yang mencari hiburan murah. Kerlap-kerlip lampu dari
odong-odong yang mengelilingi alun-alun menambah kemeriahan.

Halaman belakang kediaman Raja Jogja ini merupakan tempat sarat cerita. Dua folklore
paling akrab dengan alun-alun kidul adalah tentang keberadaannya yang
dibangun agar belakang keraton nampak seperti bagian depan sehingga
tidak membelakangi laut selatan yang dijaga oleh Ratu Kidul yang konon
punya hubungan magis dengan Raja Mataram. Cerita kedua adalah mitos
melewati ringin kembar dengan mata tertutup. Permainan ini bernama
masangin, singkatan dari masuk dua beringin.
Aturan mainnya sangat sederhana, kita hanya perlu menutup
mata lalu berjalan lurus sekitar 20 meter dari depan Sasono Hinggil
menuju tengah-tengah ringin kurung (dua beringin di tengah
alun-alun). Itu saja. Namun lihatlah, tak mudah rupanya. Banyak sekali
orang yang berusaha berjalan lurus tapi malah berbelok ke berbagai arah,
jauh dari tujuan. Tentu saja berjalan tanpa melihat pasti jauh lebih
sulit ketimbang bila ada obyek yang terlihat. Dipercaya, hanya orang
berhati bersih yang bisa tembus melewatinya. Dalam pengertian yang lebih
luas, permainan ini menyampaikan pesan bahwa untuk mencapai apa yang
diinginkan, maka kita harus berusaha keras dan tetap menjaga kebersihan
hati.
Asal-usul masangin bermula dari ritual topo bisu mubeng beteng
(mengitari benteng) di malam 1 Suro yang berakhir dengan melewati
ringin kurung. Konon ada rajah di antara kedua beringin tersebut yang
berfungsi untuk menolak bala yang berusaha mendatangi Keraton Jogja.
Sehingga, hanya orang yang bersih hati dan tak berniat buruk yang bisa
lolos. Untuk mencoba permainan ini, kita bisa menyewa penutup mata
seharga Rp 5.000. Di luar mitos, permainan ini kini menjadi ikon
alun-alun kidul dan mendatangkan rejeki bagi para pedagang di
sekitarnya.
Di alun-alun kidul, tak hanya masangin yang bisa kita
lakukan. Tempat yang dulunya dipakai untuk berlatih para prajurit
kerajaan ini, sekarang telah bertransformasi menjadi ruang publik yang
riuh pengunjung. Berbagai kalangan dan usia bercampur menjadi satu. Sore
hari kira-kira pukul lima, anak-anak kecil dengan diantar orang tuanya
datang bermain, berlarian mengejar ratusan gelembung sabun yang ditiup
penjajanya, atau berteriak-teriak melambaikan tangan memanggil
layang-layang aneka rupa di angkasa. Sementara di pinggir alun-alun,
para pedagang tengah bersiap-siap, menggelar tikar menunggu tamu datang.
Beranjak malam, suasana berubah. Anak-anak kecil telah pulang
digantikan muda-mudi yang datang untuk menghabiskan malam. Semakin malam
suasana semakin ramai. Sepeda tandem dan odong-odong berlampu menjadi
favorit pengunjung. Kita bisa berkeliling alun-alun dengan menyewa
sepeda tandem seharga Rp 15.000 dan Rp 30.000 untuk odong-odong penuh
lampu yang bisa muat hingga 6 orang. Sambil berolahraga malam mengayuh
pedal, menjadi sensasi tersendiri saat kita mengemudikannya menerobos
kemacetan jalanan.

Ayooo ke Jogja....
No comments:
Post a Comment